Selasa, 16 Juni 2009

PERKEBUNAN DISIMPANG JALAN

hancurnya jeruk di Malangke, turunnya produksi dan mutu kakao tidak terlepas dari rendahnya pengawasan atas masuknya benih dan kecambah dari luar sehingga Hama dan Penyakit ikut terbawa, ini jangan terulang pada komoditi kelapa Sawit.....

Krisis ekonomi yang melanda bangsa indonesia sejak tahun 1997 sebahagian dipicu oleh lompatan kebijakan pemerintah, dari negara agraris menjadi negara industri, dipicu oleh rentannya proses industrialisasi karena terbuai oleh prestasi semu pertumbuhan ekonomi 7% - 15% pada sepuluh tahun yang lalu, mengakibatkan nilai tukar rupiah mencapai posisi terendah terhadap mata uang asing akibat semua bahan baku import harus dibayar dengan mata uang asing.

Ditengah krisis berlangsung ternyata sektor pertanian, sektor yang tadinya mulai ditinggalkan terbukti mampu bertahan, bahkan memberi andil yang sangat besar terhadap survive bangsa ini walaupun krisis itu berlangsung cukup panjang bahkan hingga saat ini masih dpt dirasakan.

Gambaran umum tentang kondisi negara ini dimasa-masa krisis dapat dijadikan mainset dalam merancang arah kebijakan sektor pertanian dan perkebunan di Luwu Utara yang 80 % masyarakatnya hidup dari sektor tersebut, sebab tanpa disadari ataupun data statistik yang salah ada kecenderungan kondisi mikro ekonomi masyarakat luwu utara memperihatkan trend yang menurun, ini terlihat dari turunnya daya beli masyarakat akhir-akhir ini.

MASALAH PERKEBUNAN DI LUWU UTARA

Tidak dapat dipungkiri bahwa ribuan hektar tanaman jeruk di Malangke telah punah, dan ribuan masyarakat yang tadinya menggantungkan hidupnya pada komoditi ini kehilangan sumber pencaharian, tidak dapat dipungkiri bahwa produksi dan mutu tanaman kakao yang merupakan komoditi andalan cenderung menurun akibat serangan hama dan penyakit, sementara upaya pemerintah merehabilitasi tanaman ini melalui pendekatan pemberdayaan kelompok tani dan side graffting belum sepenuhnya memberi hasil karena kegiatan ini sulit dilakukan dalam skala yang luas dan umumnya kakao di Kab. Luwu Utara dimiliki dan dikelola oleh perkebunan rakyat. (dalam menyikapi visi “Luwu Utara menjadi kabupaten Kakao Terbaik, ulasan pada edisi akan datang penulis akan menyoroti, tantangan dan hambatan masalah kakao).

Upaya pengendalian hama PBK pada tanaman kakao dan penyakit CPVD pada jeruk yang sampai saat ini terus di upayakan adalah sebuah keinginan bersama untuk tetap mempertahankan agar kedua komoditi ini dapat kembali pada kondisi seperti sedia kala, tetapi dalam jangka panjang, kebijakan ini perlu di evaluasi, sebab serangan hama dan penyakit ini telah bersifat endemik dalam sebuah kawasan yang luas, dan dalam metode pengendalian hama dan penyakit, khusus kasus semacam ini tindakan yang terbaik adalah melalui eradikasi, tetapi itu harus dilakukan dalam kawasan yang luas yakni dalam satu pulau, suatu hal yang sangat sulit untuk direalisasikan. Dalam kondisi seperti ini kemana langkah kita selanjutnya?

Dilakukan eradikasi atau tidak, harapan mendapatkan penghasilan dari tanaman kakao untuk jangka panjang nampaknya mulai suram. karena itu pemerintah hendaknya segera menyusun sebuah strategi baru dalam merancang kebijakan sektor perkebunan yang lebih komprehensif dan terarah, dengan pilihan komoditi yang tepat berdasarkan agroekosistem serta pertimbangan pasar. Salah satu jenis komoditi yang telah lama dibudidayakan di Luwu Utara dan telah terbukti memberikan kontribusi yang nyata terhadap pertumbuhan ekonomi adalah kelapa sawit, disamping itu tanaman kelapa sawit telah teruji tahan terhadap hama dan penyakit, mudah dalam budidaya, dan pasar yang sangat baik. Disamping itu melambungnya harga minyak dunia dan perkiraan deposit minyak bumi indonesia yang tinggal 20 tahun lagi, mengharuskan pemerintah segera mencari sumber-sumber energi alternatif, karena itu mulai APBN tahun 2007 pemerintah mengalokasikan anggaran yang cukup signifikan dalam rangka mengembangkan tanaman yang berpotensi sebagai sumber biofuel dan biodiesel, dan salah satunya adalah kelapa sawit.

Kondisi real kelapa sawit diluwu utara sekarang, dengan total luas 4984,85 Ha, sekitar 2000 Ha yang dalam waktu empat tahun lagi sudah harus di replanting, sisanya berada pada usia produksi optimal (namun produksi tidak optimal karena budidaya yang salah), dan sekitar 1000 Ha tanaman yang dibangun dengan pola KKPA tidak memberikan hasil maksimal disebabkan terlantarnya kebun akibat ketidakjelasan status kredit. Pada situasi seperti ini, diperkirakan mulai tahun 2011 produksi TBS Luwu Utara menurun sampai 20,5 % dan pada tahun berikutnya penurunan produksi akan berkelanjutan sejalan dengan penurunan potensi produksi.

Dalam dua tahun terakhir ini ada harapan penambahan luas areal oleh beberapa perusahaan yang telah mengajukan permohonon izin prinsip kepada Pemda Luwu Utara, sayangnya sambutan serta fasilitas yang diberikan oleh pemerintah daerah tidak dimanfaatkan dengan baik oleh para calon investor, bahkan salah satu calon investor yang tadinya menggebu-gebu akan membuka kebun ternyata justeru lebih mengutamakan membangun pabrik, padahal kondisi tanaman sawit yang ada sudah tidak layak di back up dengan penambahan pabrik, artinya investasi pabrik tidak akan mencapai break event point manakala tidak di dahului dengan membuka areal perkebunan yang baru. Pada sisi lain jika kita memperhatikan topografi dimana sebahagian besar areal yang layak untuk budidaya kelapa sawit ( kemiringan < 25o) telah di kuasai oleh masyarakat, maka peluang masuknya investor baru sangat kecil. Karena itu kita harus mencari jalan keluar agar pembangunan kebun sawit tetap berlanjut.

Sumber Pembiayaan

Uraian diatas setidaknya dapat memberi gambaran kepada kita bahwa sesungguhnya sumber hidup masyarakat Luwu Utara umumnya tergantung kepada hasil kebun. Di samping itu animo masyarakat Luwu Utara untuk membudidayakan tanaman kelapa Sawit cukup tinggi, sementara disisi lain kesempatan masyarakat memiliki kebun plasma melalui pola kemitraan INTI-PLASMA sudah sangat kecil peluangnya mengingat ketersediaan lahan untuk membangun inti sangat terbatas, padahal kebun inti adalah syarat bagi para investor terutama PBSN dalam mengembangkan plasma.

Karena itu Jika pemerintah pusat telah mengeluarkan kebijakan pengembangan biofuel dan biodisel, maka tentu pula melalui pemahaman UU No. 32 Tahun 2003 tentang otonomi daerah, pemerintah daerah dapat mengeluarkan kebijakan untuk pengembangan kelapa sawit, tidak saja melalui deregulasi, tetapi juga pembebanan anggaran melalui APBD. Pola seperti ini telah sukses dilaksanakan dibeberapa daerah seperti Kab. Pasir Kalimantan Timur (PIR Swadaya). Keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan pola ini antara lain kesempatan memiliki lahan lebih besar bagi penduduk setempat, serta dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak.

Selain APBN, pemerintah melalui kementerian Koperasi bekerja sama dengan dirjen perkebunan juga telah mengeluarkan kebijakan pembiayaan pengembangan kelapa sawit melalui KKPA. Di Kabupaten Bangkinang Propinsi Riau, Kepulauan Bangka dan Belitung, dan dibeberapa tempat lainnya pengembangan kelapa sawit melalui pola KKPA cukup sukses dilaksanakan, hal ini tidak terlepas akibat dari kemandirian koperasi sebagai mitra dalam mengatur kelompok tani.

Khusus Luwu Utara membangun kebun kelapa sawit melalui pola KKPA, bukanlah hal yang baru. Tahun 1996 KUD Bone Masamba bekerja sama dengan PTPN XIV dengan fasilitas KKPA sebesar Rp. 9 Milyar telah sukses membangun 1000 Ha kebun, namun sayangnya PTPN XIV dalam proses selanjutnya berjalan sendiri, padahal KKPA selain ditujukan untuk menyediakan fasilitas permodalan bagi anggota koperasi primer dalam rangka mengembangkan usaha dan pendapatannya juga ditujukan untuk mengembangkan usaha koperasi itu sendiri, paling tidak melalui pembinaan dan pemberdayaan, sehingga Koperasi ini selanjutnya dapat menjadi mitra kelompok tani dalam melaksanakan swa kelola.

Tingginya animo masyarakat untuk membudidayakan kelapa sawit harus segera di tindak lanjuti pemerintah daerah, sebab di beberapa tempat telah ditemukan adanya masyarakat yang menanam kelapa sawit dari sumber bibit yang tidak dapat di pertanggungjawabkan, tindakan ini secara signifikan selain mempengaruhi potensi produksi juga berpotensi menjadi biang penyebaran penyakit. kalau hal ini tidak segera di antisipasi maka kasus serupa yang telah menimpah dua komoditi andalan (Jeruk dan Kakao) akan terulang, sebab serangan hama dan penyakit pada kedua komoditi tersebut disinyalir akibat introduksi melalui benih dan kecambah.

Untuk menjawab kebutuhan masyarakat Luwu Utara terhadap budidaya kelapa sawit, dua sumber pembiayaan diatas (APBD dan KKPA) dapat dipadukan untuk membangun kebun yang memang membutuhkan biaya yang cukup besar. Untuk mendapatkan pembiayaan melalui pola KKPA, maka kelompok tani berhimpun dalam sebuah wadah koperasi Primer, karena itu pula stimulasi APBD diarahkan selain untuk membiayai pengadaan bibit juga untuk penguatan kelembagaan (kelompok tani dan koperasi) selanjutnya kelompok tani dan koperasi ini dapat memanfaatkan pembiayaan KKPA untuk membangun infrastruktur dan modal kerja sampai mencapai produksi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar